1. That Party
Aku pernah bertemu Daniel sebelumnya selain di sekolah (tentu saja), saat itu sedang diadakan pesta dan seluruh orang orang penting diundang (Termasuk orang tua anak-anak di Capstic)
Aku sedang di balkon dan melihat para tamu yang datang dari sana. Menghitung berapa orang yang memalkai mantel dari kulit hewan-hewan yang dilindungi, walaupun akhirnya aku menyerah karna mungkin mereka tidak memakai kulit asli walaupun aku meragukannya.
Dari atas sanalah aku melihat Daniel, tampak sempurna dalam tux-nya. Ia mendapatiku sedang menatapnya lalu ia tersenyum sambil melambaikan tangannya kearahku. Karna sangat memalukan jika aku berbalik dan kabur, aku ikut tersenyum sambil melambaikan tanganku juga padanya dengan agak canggung.
Ia tetawa pelan saat melihat kecanggunganku, matanya yang hijau bersinar dibawah cahaya lampu dan membuatnya terlihat seperti manik-manik.
Rasanya aku bisa memandanginya semalaman tapi tiba-tiba sebuah lengan jenjang berwarna coklat sempurna menariknya masuk ke dalam pesta.
Seperempat jam berlalu aku masih berdiri di atas balkon melihat para undangan yang masuk dan mengagumi gaun-gaun modis yang mereka gunakan dan mendelik melihat betapa anggunnya orang-orang yang memakainya.
Aku tak begitu suka memakai gaun dan memang aku tak cocok dengan pakaian itu. Ibuku berkomentar betapa anehnya cara berjalanku, dan karna itulah aku lebih suka memakai jins.
“Hey, Jenny” Ucap suara dari belakangku. Biasanya aku memprotes bila orang memanggilku seperti itu panggilan ‘Jenny’ terlihat kekanak-kanakkan aku lebih suka orang memanggilku Jennifer terdengar anggun dan dewasa.
Tapi, aku langsung membungkam pikiranku begitu menyadari siapa orang yang memnaggilku. Tam ta raaaaa…Daniel.
Ia berdiri tepat di belakangku kira kira hanya 3 meter. Terlihat sempurnya dengan komposisi warna yang menabjukkan!
“Hey, Dan” Balasku berusaha santai, walaupun rasanya sangatlah sulit.
“Kau tak kedinginan disana?” Tanyanya. Aku berfikir sejenak, disini memang sedikit dingin tapi hanya sedikit, aku bahkan hampir tak menyadarinya.
“Hmm…Yah…Sedikit” Ucapku sambil mengusap-usap lenganku. Lalu aku merasa tolol.
“Masuklah” Ucapnya ramah. Sekarang akulah yang merasa tolol akukan tuan rumah disini.
“Tidak usah aku memang ingin disini” Ucapku berusaha tidak memalukan.
“Kau tak suka pestanya?”
Aku memutar mataku. “Yeah” Aku tak mau masuk karna nanti akan sangat kikuk bila bersamamu pikirku. Daniel menatapku dengan senyumannya yang hampir membuatku sulit bernapas.
“Berhati-hatilah agar tak digigit serangga” lalu ia berbalik umtuk meninggalkanku sendirian di balkon konyol ini. Ia baru bejalan beberapa langkah dan langsung membalikan badannya lagi.
“Kau mau kuambilkan minuman?” Tawarnya. Sambil menyungginkan senyum manisnya padaku.
“Tentu” Jawabku sambil mengangguk. Aku beruntung aku berada di balkon yang sedikit remang, karna akan memalukan jika ia melihat pipiku merona.
Daniel berbalik dan berjalan mengambilkan minuman untukku, aku menatap punggungnya yang tegap yang berjalan menjauhiku, aku tersenyum senang atas tawarannya.
Tak tak terlalu sering berbicara dengan Daniel karna pacarnya yang menyebalkan selalu mengikutinya kemanapun Daniel pergi.
Jadi sekarang aku sedikit heran karna aku tak melihat Clara yang selalu ada di sebelah Daniel. Aku hanya melihat lengannya yang panjang dan coklat manarik masuk Daniel ke pesta saat Daniel menatapku tadi.
Aku kembali membalikan tubuhku melihat keluar balkon. Orang-orang masih saja ada yang berdatangan walaupun pestanya sudah dimulai sedari tadi. Aku melihat kearah hutan yang mengelilingi kastilku.
Hutan itu lebat—sangat amat lebat—. Dulu aku sangat amat percaya dengan cerita beberapa pelayanku bahwa disanalah tempat para penyihir tinggal.
Itu salah satu cerita konyol yang mereka jejali ke kepalaku. Tapi sekarang aku sudah mengetahui itu hanya dongeng untuk menakuti anak-anak agar tidak kesana sendirian atau bermain dan masuk kedalam hutan.
Karna hutan itu memang besar sekali, aku pernah membayangkan diriku menembus hutan itu. Tapi khayalan itu terhenti saat aku menyadari aku tak tahu gambaran hutan yang sebenarnya.
Aku hanya pernah melihat hutan dari tv atau dari balkon-balkon disini. Aku tak pernah masuk hutan. Aku bahkan terlalu pengecut untuk berjalan saat mati lampu sendirian di kastil ini tanpa cahaya sedikitpun.
“Hey” suara rendah dibelakangku membuatku membalikan badan lagi. Sekarang aku pasti seperti orang konyol yang berputar-putar di balkon.
Daniel berjalan dan berdiri tepat didebelahku malam itu. Ia memengang 2 buah gelas yang berisi caira hitam di dalamnya. Aku mengambil gelas itu darinya.
Mencoba menebak apa isi dari gelas ini. “Itu soda” Ucap Daniel menjawab pertanyaaan memalukan yang senganja tak kulontarkan.
“Oh well, Thanks” Ucapku seikit malu rasanya aku ingin menjedukan kepalaku ke dinding saat itu juga.
Daniel meneguk gelasnya. Ia hanya berdiri diam disebelahku, aku ikut meneguk gelasku dengan kikuk. Daniel mendesah pelan. Lalu menatapku.
Matanya yang sewarn adengan warna hutan yang ditutupi kabut. Dalam dan misterius. Sudut bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman hangat.
“Pantas saja kau disini terus dari tadi, tempat ini menyenangkan” Ucapnya sambil memandang hutan yang lebat.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata berusaha memahami kearah mana ia berbicara. “Yeah, aku suka pemandangannya” ucapku ringan. Sebenarnya langit malam sedang tak begitu bagus, sedikit berawan dan hampir tak terlihat bintang satupun.
Tapi Daniel mengangguk mengerti bahwa pemandanganan yang kumaksud adalah hutannya.
“Kau pernah ke hutannya?” Tanyanya sekarang menatap mataku lurus-lurus.
“Tidak, aku tak pernah kesana. Terlalu sunyi” Daniel mengangguk mendengar ucapanku.
Tiba-tiba suara ringtone ponsel berbunyi, suaranya sepereti musik Heave. Daniel menatapku wajahnya terlihatb jail.
“Ups…” Ucapnya sambil tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang sempurna, membuatku sedikit malu melihart senyumannya.
Ia mengambil ponselnya dari saku dalam jasnya, Daniel melihat layar ponselnya sebentar.
“Maaf aku harus mengangkat ini” Ucapnya wajahnya sedikit bersalah saat menatapku. Lalu ia pergi dari balkon ini.
Dan sejak saat itu aku jarang berbicara dengannya. kebanyakan aku bicara dengan Daniel hanya sapaan atau hanya senyum simpul jika aku berpapasan dengannya jika disekolah. Dan dia memang tersenyum pada siapapun disekolah jadi itu hanya berarti sedikit.